Tutorial terbaru, Berita terbaru, Sumber informasi

Nanya Mulu

Cari dan berbagi informasi disini.

Nanya Mulu

Cari dan berbagi informasi disini.

Nanya Mulu

Cari dan berbagi informasi disini.

Nanya Mulu

Cari dan berbagi informasi disini.

Nanya Mulu

Cari dan berbagi informasi disini.

Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (1998)

Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment
Undang-Undang
Nomor : 5
Tahun : 1998
Tentang : PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA).

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN
OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM,
TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA)

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : 
a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. sehingga segala
bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam.
tidak manusiawi. atau merendahkan martabat manusia harus dicegah
dan dilarang;
b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional
menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hakhak
Asasi Manusia;
c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam
sidangnya pada tanggal 10 Desember 1984 telah menyetujui
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak -Manusiawi.
atau Merendahkan Martabat Manusia) dan Pemerintah Republik
Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 23
Oktober 1985;
d. bahwa konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundangundangan
Republik Indonesia serta selaras dengan keinginan bangsa
Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan memajukan
pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c. dan d
dipandang perlu mengesahkan Convention Against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia)
dengan Undang-undang.

Mengingat : 
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal
27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION
AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING
TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG
KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT
MANUSIA)

Pasal 1
(1) Mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia, atau Merendahkan Martabat
Manusia) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20 dan Reservation
(Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1).
(2) Salinan naskah asli Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia), Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20, dan
Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggris, dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.

Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 28 September 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 28 September 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 164 

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN
OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM,
TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA)

I. UMUM
Pada tanggal 9 Desember Tahun 1975 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
telah menerima Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia.

Deklarasi tersebut memuat perlindungan terhadap semua orang dari sasaran
penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia, dan menyatakan perlunya langkah-langkah yang
efektif untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Langkah-langkah ini
mencakup antara lain perbaikan cara

Interogasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain
yang bertanggungjawab terhadap orang-orang yang dirampas kemerdekaannya.
Adapun pengertian penyiksaan dalam Deklarasi ini adalah tindak pidana menurut
ketentuan dalam hukum pidana.

Namun, karena deklarasi itu bersifat tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang selanjutnya diajukan kepada
Sidang Majelis Umum PBB untuk disahkan.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secara konsensus
rancangan konvensi tersebut pada tanggal 10 Desember 1984 yang menyatakan
mulai berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni 1987. Pemerintah Republik
Indonesia menandatangani konvensi itu pada tanggal 23 Oktober 1985.

Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau negaranegara
anggota PBB untuk secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat
internasional yang sangat penting di bidang hak asasi manusia (HAM), termasuk
Konvensi Menentang Penyiksaan. Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993,
Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia
1998-2003 yang berisi kegiatan-kegiatan prioritas dalam rangka pemajuan dan
perlindungan HAM. Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi tersebut
mencakup pengesahan tiga perangkat internasional di bidang HAM, termasuk
Konvensi Menentang Penyiksaan.

Karena didorong oleh rasa tanggung jawab untuk memajukan dan menegakkan hak
asasi manusia dan pembangunan hukum di Indonesia, DPR-RI memutuskan
menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang
tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai salah satu
perangkat internasional di bidang HAM yang sangat penting. Saat ini Konvensi telah
disahkan oleh 105 negara.

Sebagai negara berdaulat dan sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang
berlaku, Indonesia memutuskan untuk menyampaikan suatu pernyataan
(declaration) terhadap Pasal 20 Konvensi. Pernyataan ini menegaskan bahwa
dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimuat dalam konvensi,
kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah Negara Pihak harus tetap dihormati dan
dijunjung tinggi. Pernyataan (declaration) ini tidak mempunyai kekuatan mengikat
secara hukum sehingga pernyataan tersebut sama sekali tidak menghapuskan
kewajiban atau tanggung jawab Negara Pihak untuk melaksanakan isi Konvensi.

Sesuai dengan ketentuan Konvensi, Indonesia juga menyatakan Pensyaratan
(Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi yang mengatur upaya
penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui
Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sikap ini diambil antara lain
atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui jurisdiksi yang mengikat secara
otomatis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Pensyaratan
tersebut bersifat prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang
berlaku.

II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI
1 Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia masih terus terjadi di
berbagai negara dan kawasan dunia, yang diakui secara luas akan dapat
merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur, dan
berbudaya. Dalam rangka menegakkan sendi-sendi masyarakat demikian itu,
seluruh masyarakat internasional bertekad bulat melarang dan mencegah
segala bentuk tindak penyiksaan, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Masyarakat internasional sepakat untuk pelarangan dan pencegahan tindak
penyiksaan ini dalam suatu wadah perangkat internasional yang mengikat
semua Negara Pihak secara hukum.

2 Dalam kaitan itu. Majelis Umum PBB telah menerima Deklarasi Universal
HAM pada tanggal 10 Desember 1948. Pasal 5 Deklarasi ini menjamin
sepenuhnya hak setiap orang untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan dan
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia.

3 Selanjutnya perangkat internasional di bidang HAM yang bersifat sangat
penting lainnya, yakni Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
(Pasal 7), menetapkan bahwa hak tersebut merupakan hak fundamental yang
tidak boleh dikurangi dengan alasan apapun (nonderoglabe rights).

III. ALASAN INDONESIA MENJADI NEGARA PIHAK DALAM KONVENSI
1 Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat
konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk mencegah dan
melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan ini Konvensi ini.

2 Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang
Dasar 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan
perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan pelarangan,
segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat
manusia. Namun perundang-undangan itu karena belum sepenuhnya sesuai
dengan Konvensi, masih perlu disempurnakan.

3 Penyempurnaan perundang-undangan nasional tersebut, akan meningkatkan
perlindungan hukum secara lebih efektif, sehingga akan lebih menjamin hak-
hak setiap warga negara bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
manusia, demi tercapainya suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur,
dan berbudaya.

4 Suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya akan mampu
mewujudkan upaya bersama untuk memelihara perdamaian, ketertiban
umum, dan kemakmuran dunia serta melestarikan peradaban umat manusia.

5 Pengesahan dan pelaksanaan isi Konvensi secara bertanggungjawab
menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan
perlindungan HAM, khususnya hak bebas dari penyiksaan. Hak ini juga akan
lebih meningkatkan citra positif Indonesia di dunia internasional dan
memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia.

IV. POKOK-POKOK ISI KONVENSI
1 Konvensi menentang penyiksaan terdiri atas pembukuan dengan 6 paragraf
dan batang tubuh dengan 3 bab yang terdiri atas 33 pasal.
a. Pembukaan meletakkan dasar-dasar dan tujuan Konvensi. Dalam
konsideran secara tegas dinyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah
lebih mengefektifkan perjuangan di seluruh dunia dalam menentang
penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
b. Bab I (Pasal 1-16) memuat ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur
definisi tentang penyiksaan dan kewajiban Negara Pihak untuk
mencegah dan melarang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
c. Bab II (Pasal 17-24) mengatur ketentuan mengenai Komite Menentang
Penyiksaan (Committee Against Torture)dan tugas serta
kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan
Konvensi.
d. Bab III (Pasal 25-33) merupakan ketentuan penutup yang memuat halhal
yang berkaitan dengan mulai berlakunya Konvensi, perubahan,
pensyaratan (reservation), ratifikasi dan aksesi, pengunduran diri serta
mekanisme penyelesaian perselisihan antar Negara Pihak.

2 Ketentuan-ketentuan Pokok Konvensi
Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari
atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) dan
orang lain yang bertindak dalam jabatannya.
Adapun pelarangan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi ini tidak
mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, atau diakibatkan
oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Negara Pihak wajib mengambil
langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah efektif lainnya
guna mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah yurisdiksinya. Tidak
terdapat pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan
politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya yang dapat dijadikan
sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Dalam kaitan ini, perintah dari
atasan atau penguasa (public authority) juga tidak dapat digunakan sebagai
pembenaran atas suatu penyiksaan.
Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan sebagai tindak
pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Hal yang sama berlaku
pula bagi siapa saja yang melakukan percobaan, membantu, atau turut serta
melakukan tindak penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur bahwa
pelaku tindak pidana tersebut dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan
sifat tindak pidananya.
Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak penyiksaan
sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Konvensi selanjutnya
melarang Negara Pihak untuk mengusir, mengembalikan, atau
mengekstradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang
cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu menjadi sasaran penyiksaan.
Negara Pihak lebih lanjut harus melakukan penuntutan terhadap seseorang
yang melakukan tindak penyiksaan apabila tidak mengekstradiksikannya.
Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam proses peradilan atas
tindak penyiksaan dan menjamin bahwa pendidikan dan penyuluhan
mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam
program pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil, atau militer,
petugas kesehatan, pejabat publik dan orang-orang lain yang terlibat dalam
proses penahanan, permintaan keterangan (interogasi), atau perlakuan
terhadap setiap pribadi/individu yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan.
Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya bahwa korban
suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk
mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk
mendapatkan rehabilitasi.

3 Implementasi Konvensi
Implementasi Konvensi dipantau oleh Komite Menentang Penyiksaan
(Committee Againts Torture) yang terdiri dari sepuluh orang pakar yang
bermoral tinggi dan diakui kemampuannya di bidang HAM.
Negara pihak harus menanggung pembiayaan yang dikeluarkan oleh para
anggota Komite dalam menjalankan tugasnya dan pembiayaan
penyelenggaraan sidang Negara pihak dan sidang Komite.
Menurut ketentuan Pasal 19, Negara Pihak harus menyampaikan kepada
Komite, melalui Sekretaris Jenderal PBB, laporan berkala mengenai langkahlangkah
yang telah mereka lakukan dalam melaksanakan kewajibannya
menurut Konvensi. Setiap laporan akan dipertimbangkan oleh Komite, yang
selanjutnya dapat memberikan tanggapan umum dan memasukkan informasi
tersebut dalam laporan tahunannya kepada Negara pihak dan kepada
Sekretaris Jenderal PBB.
Selanjutnya melalui penyampaian laporan berkala oleh Negara Pihak,
pemantauan atas pelaksanaan Konvensi juga dapat dilakukan melalui caracara
berikut:

a. Menurut Pasal 20, apabila Komite menerima informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan (reliable), bahwa penyiksaan dilakukan secara
sistematis di wilayah suatu Negara Pihak. Komite harus mengundang
Negara pihak tersebut untuk bekerja sama membahas informasi
tersebut dan Komite menyampaikan hasil pengamatannya. Komite
dapat memutuskan, apabila informasi tersebut benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan, segera melaporkannya kepada Komite dan
menugaskan anggotanya seorang atau lebih, melakukan suatu
penyelidikan rahasia dan segera melaporkan hasilnya kepada Komite.
Dengan persetujuan Negara Pihak, penyelidikan semacam itu dapat
berupa kunjungan ke wilayah Negara Pihak tersebut.

b. Negara Pihak. sesuai dengan ketentuan Pasal 21, dapat membuat
deklarasi yang mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan
membahas laporan pengaduan (communications) suatu Negara Pihak
yang menyatakan bahwa Negara Pihak lain tidak memenuhi
kewajibannya berdasarkan Konvensi. Komite hanya berwenang
menerima dan membahas laporan pengaduan oleh Negara Pihak yang
telah membuat Deklarasi. Komite tidak berhak menerima dan
membahas laporan pengaduan tentang suatu Negara Pihak yang tidak
membuat suatu Deklarasi.

c. Negara Pihak, sesuai dengan ketentuan Pasal 22, dapat membuat
deklarasi mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan
membahas laporan pengaduan dari atau atas nama pribadi individu
yang berada dalam yurisdiksinya,yang menyatakan diri menjadi korban
pelanggaran yang dilakukan Negara Pihak itu terhadap Konvensi.
Komite tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan jika
menyangkut suatu Negara Pihak yang tidak membuat Deklarasi. Komite
juga tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan dari
seseorang, kecuali jika Komite menyatakan bahwa:
1) Pengaduan tersebut belum pernah atau tidak sedang dibahas oleh
prosedur penyelesaian atau penyelidikan internasional lainnya;
2) Perorangan yang dimaksudkan sudah menggunakan segala
upaya penyelesaian hukum di dalam negerinya.

4 Pensyaratan (Reservation) dan Deklarasi (Declaration)
Konvensi ini memperbolehkan Negara Pihak mengajukan pensyaratan
terhadap 2 pasal, yakni:
a. Menyatakan tidak mengakui kewenangan Komite Menentang
Penyiksaan dalam Pasal 20, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat
(1) Konvensi.
b. Menyatakan tidak terikat pada pengajuan penyelesaian suatu
perselisihan di antara Negara Pihak kepada Mahkamah Internasional,
berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Konvensi.
c. Konvensi ini juga memungkinkan Negara Pihak membuat deklarasi
mengenai kewenangan Komite Menentang Penyiksaan, sebagaimana
diatur oleh Pasal 21 dan Pasal 22 Konvensi.

V. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1)
Diajukannya DekIarasi (Declaration) terhadap PasaI 20 adalah berdasarkan prinsip
untuk menghormati kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Negara Pihak dan
diajukannya Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) adalah
berdasarkan prinsip untuk tidak menerima kewajiban dalam pengajuan perselisihan
kepada Mahkamah Internasional, kecuali dengan kesepakatan Para Pihak.
Ayat(2)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli Konvensi. Deklarasi terhadap
Pasal 20 dan Pensyaratan terhadap Pasal 30ayat (1) dalam bahasa Inggris.

Pasal 2
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3783

LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER, CRUEL, INHUMAN
OR DEGRADING TREA TMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAUPENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK
MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA)

DEKLARASI TERHADAP PASAL 20 DAN PENSYARATAN TERHADAP PASAL 30
AYAT (1) KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU
PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, DAN MERENDAHKAN
MARTABAT MANUSIA

Pernyataan:
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan
dan keutuhan wilayah suatu negara.

Pensyaratan:
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat pada ketentuan Pasal 30 ayat
(1) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan
penafsiran atau penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur
sebagaimana diatur dalam ayat (1) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah
Internasional! hanya berdasarkan kesepakatan para Pihak yang berselisih.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE 

LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUDLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER, CRUEL, INHUMAN
OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM,
TIDAK MANUSIA WI, ATAU MERENDAHKAN MARTABA T MANUSIA)

DECLARATION TO ARTICLE 20 AND RESERVATION TO ARTICLE 30 PARAGRAPH I
CONVENTION AGAINTST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR
DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT

Declaration:
The Government of the republic of Indonesia declares that the provisions of paragraphs 1,
2 and 3 of Article 20 of the Convention will have to be implemented strict compliance with
the principles of the sovereignty and territorial integrity of States.

Reservation:
The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the
provision of Article 30, paragraph 1, and takes the position that relating to the
interpretation and application of the Convention which cannot besettled through the
channel provided for in paragraph I of the said article, may be referred to the International
Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE.

Sumber : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Pengesahan Convention On The Prohibition Of The Development, Production, Stockpiling And Use Of Chemical Weapons And On Their Destruction (1998)

Pengesahan Convention On The Prohibition Of The Development, Production, Stockpiling And Use Of Chemical Weapons And On Their Destruction (1998)
Undang-Undang
Nomor : 6
Tahun : 1998
Tentang : PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE DEVELOPMENT, PRODUCTION, STOCKPILING AND USE OF CHEMICAL WEAPONS AND ON THEIR DESTRUCTION (KONVENSI TENTANG PELARANGAN PENGEMBANGAN, PRODUKSI, PENIMBUNAN, DAN PENGGUNAAN SENJATA KIMIA SERTA TENTANG PEMUSNAHANNYA.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1998

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE DEVELOPMENT,
PRODUCTION, STOCKPILING AND USE OF CHEMICAL WEAPONS AND ON THEIR
DESTRUCTION (KONVENSI TENTANG PELARANGAN PENGEMBANGAN,
PRODUKSI, PENIMBUNAN, DAN PENGGUNAAN SENJATA KIMIA SERTA TENTANG
PEMUSNAHANNYA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : 
a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
kebijakan Pemerintah Negara Republik Indonesia mengenai
perlucutan senjata bertujuan untuk ikut melaksanakan ketertiban,
keamanan, dan perdamaian dunia, antara lain dengan membebaskan
dunia dari ancaman bencana yang dapat ditimbulkan dari keberadaan
dan penggunaan senjata pemusnah massal, yaitu senjata nuklir,
biologi, dan kimia;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut Pemerintah Negara
Republik Indonesia aktif mengambil bagian dalam usaha yang
dilakukan masyarakat internasional bagi pelarangan menyeluruh
senjata kimia, dan telah menandatangani Convention on the
Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of
Chemical Weapons and on their Destruction (Konvensi tentang
Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan
Senjata Kimia serta tentang Pemusnahannya) di Paris pada tanggal 13
Januari 1993;
c. bahwa Convention on the Prohibition of the Development, Production,
Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on their Destruction
(Konvensi tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan
dan Penggunaan Senjata Kimia serta tentang Pemusnahannya)
memuat ketentuan-ketentuan, termasuk sistem verifikasi, yang wajib
diberlakukan dan diterapkan oleh Negara Pihak dalam berbagai sektor,
termasuk sektor industri, khususnya subsektor industri kimia dan
industri farmasi;
d. bahwa dengan menjadi Pihak pada Convention on the Prohibition of
the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical
Weapons and on their Destruction (Konvensi tentang Pelarangan
Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata
Kimia serta tentang Pemusnahannya), Indonesia dapat memperoleh
manfaat dalam upaya mengembangkan industri kimia dan industri
farmasi nasional baik melalui jaminan pertukaran informasi dan
teknologi, maupun melalui kerja sama internasional dalam
perdagangan bahan-bahan kimia demi pembangunan ekonomi
nasional;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, dan d
dipandang perlu mengesahkan Convention on the Prohibition of the
Development, Production on the Prohibition of the Development,
Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on their
Destruction (Konvensi tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi,
Penimbunan, dan Penggunaan, Senjata Kimia serta tentang
Pemusnahannya) dengan Undang-undang.

Mengingat : 
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayal (1) Undang-Undang Dasar
1945.

Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : 
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE
PROHIBITION OF THE DEVELOPMENT, PRODUCTION, STOCKPILING
AND USE OF CHEMICAL WEAPONS AND ON THEIR DESTRUCTION
(KONVENSI TENTANG PELARANGAN PENGEMBANGAN, PRODUKSI,
PENIMBUNAN, DAN PENGGUNAAN SENJATA KIMIA SERTA
TENTANG PEMUSNAHANNYA)

Pasal 1
Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling
and Use of Chemical Weapons and on their Destruction (Konvensi Tentang Pelarangan,
Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta tentang
Pemusnahannya) yang salinan naskah asli beserta lampiran-lampirannya dalam bahasa
Inggeris, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.

Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 30 September 1998

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE 

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 30 September 1998

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 171 


PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1998

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE DEVELOPMENT,
PRODUCTION, STOCKPILING AND USE OF CHEMICAL WEAPONS AND ON THEIR
DESTRUCTION (KONVENSI TENTANG PELARANGAN PENGEMBANGAN,
PRODUKSI, PENIMBUNAN, DAN PENGGUNAAN SENJATA KIMIA SERTA TENTANG
PEMUSNAHANNYA)

I. UMUM
1 Upaya pelarangan senjata kimia telah dimulai sejak lebih dari satu abad yang
lalu. Tahun 1874 negara-negara Eropa bersepakat mengeluarkan Brussels
Declaration (Deklarasi Brussel) yang melarang penggunaan racun dan peluru
beracun di dalam peperangan. Pada tahap berikutnya berhasil ditandatangani
satu deklarasi dalam The Hague Conference (Konferensi Den Haag) tahun
1899 yang mengutuk penggunaan proyektil tunggal yang merupakan difusi
dari gas-gas yang mengakibatkan sesak napas (asphyxiating) atau merusak
(deleterious).

2 Meskipun telah ada deklarasi-deklarasi tersebut, senjata kimia tetap dipakai,
bahkan dalam Perang Dunia I telah mengakibatkan korban lebih dari seratus
ribu orang meninggal dan sekitar satu juta orang cedera. Keadaan tersebut
sangat memprihatinkan masyarakat internasional, sehingga kemudian
tercapai protocol for the Prohibition of the Use in War of Asphyxiating.
Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of Warfare
(Protokol Pelarangan Penggunaan dalam Perang Gas Penyesak Pernapasan,
Gas Beracun atau Gas lainnya, dan tentang Metode Peperangan dengan
Menggunakan Bakteri), yang ditandatangani pada tanggal 7 Juni 1925,
selanjutnya disebut protokol Jenewa tahun 1925. Protokol Jenewa melarang
penggunaan dalam peperangan gas-gas yang mengakibatkan sesak napas
dan beracun, cairan, benda atau peralatan sejenis, serta melarang juga
penggunaan bakteri dalam metode peperangan. Walaupun Protokol Jenewa
1925 melarang penggunaan senjata biologi dan senjata kimia, tetapi tidak
melarang pengembangan, produksi, penimbunan atau penyebarannya,
demikian juga tidak mengatur mekanisme dan prosedur penanganan dalam
hal terjadi pelanggaran.

3 Karena kelemahan-kelemahan Protokol Jenewa 1925, sekaligus karena mulai
meningkatnya kesadaran terhadap bahaya pemusnahan massal oleh senjata
ini. maka masyarakat internasional terus mengupayakan tercapainya
pelarangan total senjata kimia. Pada tahun 1948, Komisi Senjata
Konvensional PBB menetapkan senjata kimia dan senjata kuman sebagai
senjata pemusnah massal. Pada tahun 1966 disahkan satu Resolusi Majelis
Umum PBB sebagai Resolusi pertama yang meminta agar diadakan
perundingan bagi pelarangan senjata kimia dan senjata kuman. Pada tahun
1968 The figtheen-nations Committee on Disarmament (Komite Perlucutan
senjata 18 Negara) mulai merundingkan cara-cara pelarangan senjata ini.
Keprihatinan masyarakat internasional pada waktu itu terhadap bahaya
senjata kimia juga tercermin dalam laporan Sekjen PBB tahun 1969 berjudul
Chemical and Bacteriological (Biological) Weapons and the Effect of their
Possible Use (Senjata Kimia dan Bakteri (Biologi) dan Dampak dari
Kemungkinan Penggunaannya).

4 Pada mulanya masalah senjata kimia dan senjata biologi ditangani
bersamaan dengan satu pendekatan di dalam Komite Perlucutan Senjata 18
Negara tersebut. Akan tetapi, pada tahun 1971 disepakati untuk
memisahkannya, agar dapat tercapai pelarangan senjata biologi terlebih
dahulu mengingat aspek militer senjata biologi dianggap lebih berbahaya
dibandingkan senjata kimia. Pada tahun 1972, setelah diserahkan rancangan
naskah oleh negara-negara Eropa Timur di satu pihak dan Amerika Serikat di
pihak lain berhasil disepakati Konvensi Pelarangan Pengembangan, Produksi
dan Penimbunan Senjata Bakteri (Biologi), Senjata Beracun serta tentang
Pemusnahannya, yang nama lengkapnya Convention on the Prohibition of the
Development, Production and Stockpiling of Bacteriological (Biological) and
Toxin Weapons and on their Destruction. Konvensi ini terbuka
penandatanganannya pada tanggal 10 April 1972 dan mulai berlaku pada
tanggal 26 Maret 1975.

5 Tercapainya Konvensi Pelarangan Senjata Biologi dipandang sebagai langkah
pertama bagi kemungkinan tercapainya pelarangan menyeluruh senjata kimia
Bersamaan dengan meningkatnya keberhasilan industri kimia modem di
banyak negara, jumlah negara yang berpotensi memiliki senjata kimia pun
meningkat tajam. Pada tahun 1980 Konferensi Perlucutan Senjata yang
melaksanakan sidang-sidangnya di Jenewa mulai merundingkan satu
konvensi tentang pelarangan senjata kimia. Meskipun demikian, kemajuan
penyelesaian konvensi tersebut baru tercapai dalam waktu satu dekade
kemudian, yaitu setelah tercapai kesepakatan-kesepakatan prinsip mengenai
masalah-masalah sensitif yang menyangkut verifikasi terhadap implementasi
konvensi. Penyelesaian konvensi tersebut juga didukung adanya kemajuan
perundingan bilateral antara dua negara adidaya, Uni Soviet dan Amerika
Serikat. Pada tahun 1989 kedua negara bahkan dapat mencapai satu
perjanjian bilateral bagi penghapusan sebagian besar timbunan senjata kimia
mereka.

6 Pada tanggal 3 September 1992 Konferensi Perlucutan Senjata di Jenewa
berhasil merampungkan negosiasinya dan mengesahkan teks Convention on
the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of
Chemical Weapons and on their Destruction yang selanjutnya disebut
Konvensi Senjata Kimia (KSK). Pada Konferensi Penandatanganan KSK yang
diadakan pada tanggal 13 Januari 1993 di Paris, KSK ditandatangani oleh 130
negara, termasuk Indonesia. Saat ini KSK telah ditandatangani oleh 169
negara.

7 Tercapainya KSK merupakan keberhasilan upaya multilateral yang belum
pernah ada sebelumnya. Dengan KSK, satu kategori senjata pemusnah
massal (senjata kimia) dihapus, dan penghapusan tersebut diawasi dengan
sistem verifikasi universal yang sangat ketat. Dengan adanya sistem verifikasi
bagi ketaatan terhadap ketentuan yang ada di dalamnya, KSK merupakan
tonggak baru bagi penyelesaian masalah keamanan internasional, khususnya
penyelesaian masalah perlucutan senjata yang berdasarkan kesepakatan
serta pengawasan pelaksanaannya mengikat secara internasional.

II. ALASAN INDONESIA MENJADI NEGARA PIHAK KSK
Indonesia perlu menjadi Negara Pihak dalam KSK dengan alasan-alasan sebagai
berikut:

1 sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan manusia pada
keluhuran harkat dan martabatnya. Indonesia telah turut aktif dalam upaya
memelihara ketertiban dan ancaman internasional dalam rangka mewujudkan
perdamaian dunia, khususnya dalam perundingan selama dua belas tahun
(1980-1992) hingga tercapainya KSK;

2 sebagai Negara Pihak Indonesia dapat lebih meningkatkan citra yang lelah
tercipta selama ini, baik di tingkat regional maupun global;

3 sebagai Negara Pihak, Indonesia dapat memperoleh manfaat dalam upaya
mengembangkan industri kimia nasional baik melalui jaminan pertukaran
informasi dan teknologi, maupun melalui kerja sama internasioi1al dalam
perdagangan bahan-bahan kimia demi pembangunan ekonomi nasional.

III. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI
Pokok-pokok pikiran yang mendorong bangsa-bangsa di dunia menyusun KSK
adalah sebagai berikut:

1 tekad untuk mewujudkan tercapainya perlucutan senjata yang bersifat umum
dan menyeluruh di bawah pengawasan internasional yang ketat dan efektif
termasuk pelarangan dan penghapusan semua senjata pemusnah massal;

2 keinginan untuk memberikan sumbangan bagi terwujudnya tujuan dan prinsipprinsip
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta untuk menegaskan
kembali komitmen terhadap Protocol for the Prohibition of the Use in War of
Asphyxiating Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological Methods of
Warfare (ProtokoI Pelarangan Penggunaan dalam Perang Gas Penyesak
Pernapasan, Gas Beracun atau Gas Lainnya, dan tentang Metode
Peperangan dengan Menggunakan Bakteri) tahun 1925 dan Convention on
the Prohibition or the Development, Production and Stockpiling of
Bacteriological (Biological) and Toxin Weapons and on their Destruction
(Konvensi tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, dan Penimbunan
Senjata-senjata Bakteri (Biologi) dan Senjata Beracun dan tentang
Pemusnahannya) tahun 1972;

3 tekad untuk menutup kemungkinan digunakannya senjata kimia melalui
ketentuan-ketentuan baru untuk melengkapi kewajiban-kewajiban yang diatur
oleh protokol Jenewa tahun 1925;

4 keyakinan bahwa kemajuan di bidang kimia harus dipergunakan semata-mata
untuk kesejahteraan umat manusia dan meningkatkan perdagangan bahanbahan
kimia secara bebas, serta kerja sama pertukaran informasi ilmiah dan
teknik di bidang kegiatan kimia bagi tujuan-tujuan damai guna meningkatkan
pembangunan ekonomi dan teknologi di seluruh dunia;

5 keyakinan bahwa pelarangan yang menyeluruh dan efektif mengenai
pengembangan, produksi, pengadaan, penimbunan, penyimpanan,
pemindahan, dan penggunaan senjata kimia, serta tentang pemusnahannya
merupakan langkah yang penting ke arah tercapainya tujuan bersama di atas.

IV. POKOK-POKOK ISI KONVENSI

1 Konvensi Senjata Kimia terdiri dari Pembukaan, 24 pasal, dan 3 buah
lampiran, masing-masing adalah: Lampiran tentang bahan-bahan Kimia.
Lampiran tentang Implementasi dan Verifikasi; dan Lampiran tentang
Perlindungan Informasi Rahasia, yang keseluruhannya merupakan bagian tak
terpisahkan. Secara umum KSK memuat ketentuan mengenai:

a. pelarangan total pengembangan, pembuatan, penimbunan, transfer. dan
penggunaan senjata kimia beserta fasilitas produksinya. Dengan
ketentuan dalam KSK ini, timbunan yang ada di Negara Pihak di
manapun diatur penghancurannya. Demikian pula upaya memproduksi
dan memindahkan senjata ini ke mana pun juga dilarang;
b. pemeriksaan di tempat (on-site inspection under verification) oleh
Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (Organization for Prohibition of
Chemical Weapons/OPCW) yang bermarkas besar di Den Haag,
Belanda, terhadap pemusnahan senjata kimia dan fasilitas produksinya;
c. pemeriksaan (inspeksi-verifikasi) terhadap industri kimia komersial yang
oleh KSK digolongkan mampu memproduksi senjata kimia karena
memproduksi, memproses atau mengkonsumsi bahan-bahan kimia
tertentu seperti terdapat dalam daftar (schedule) yang bila
disalahgunakan dapat memproduksi senjata tersebut.

2 Kewajiban Umum
Kewajiban umum yang terdapat dalam Pasal I KSK meliputi pelarangan
pengembangan, produksi, pemilikan, penguasaan, penimbunan, transfer, dan
penggunaan senjata kimia. Pasal ini mensyaratkan setiap Negara Pihak untuk
memusnahkan senjata kimia dan fasilitas produksi senjata kimia yang
mungkin dimilikinya, baik dalam wilayah yurisdiksi dan pengawasannya,
maupun di Wilayah negara lain. Negara-negara Pihak tidak diperkenankan
terlibat dalam persiapan-persiapan militer dengan menggunakan senjata
kimia; membantu atau mendorong negara lain terlibat dalam kegiatan
tersebut; dan menggunakan bahan-bahan kimia bagi pengendalian huru-hara
sebagai metode peperangan.

3 Pengertian dan Kriteria
Pengertian dan kriteria senjata kimia seperti disebutkan dalam Pasal II KSK
meliputi semua bahan kimia beracun (toxic) dan komponen dasarnya
(precursor) yang diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan selain yang tidak
dilarang oleh Konvensi yang mencakup penggunaan untuk maksud-maksud
damai, perlindungan terhadap bahan-bahan kimia beracun, tujuan-tujuan
militer yang tidak melibatkan bahan-bahan kimia beracun sebagai suatu
metode peperangan. dan penegakan hukum. Definisi senjata kimia juga
meliputi amunisi dan perlengkapan yang didesain khusus untuk melepaskan
bahan-bahan kimia beracun tersebut. serta peralatan apapun yang didesain
secara khusus untuk maksud-maksud tersebut.

4 Deklarasi
Berdasarkan Pasal III KSK. selambat-lambatnya 30 hari setelah KSK berlaku
bagi suatu Negara Pihak. negara tersebut berkewajiban mendeklarasikan
kepada OPCW hal-hal sebagai berikut: senjata kimia dan fasilitas produksi
senjata kimia yang dimilikinya. dengan menunjukkan lokasi dan jumlahnya,
serta dengan memberikan gambaran umum tentang rencana
pemusnahannya. Negara tersebut juga diwajibkan mendeklarasikan bahanbahan
kimia yang dimilikinya untuk pengendalian huru-hara.

5 Senjata Kimia dan Fasilitas Produksi Senjata Kimia
Pasal IV dan Pasal V KSK bersama Lampiran tentang Implementasi dan
Verifikasi memuat ketentuan-ketentuan terinci mengenai pemusnahan senjata
kimia dan fasilitas produksi senjata kimia. termasuk verifikasi tentang
pemusnahan tersebut. Pemusnahan senjata kimia dan fasilitas produksi
senjata kimia harus diselesaikan dalam waktu sepuluh tahun. Dalam kasuskasus
tertentu. batas akhir pemusnahan senjata kimia dapat diperpanjang
lima tahun lagi, dan fasilitas produksi senjata kimia dapat dikonversikan
menjadi fasilitas untuk tujuan-tujuan damai. dengan cara-cara sedemikian
rupa untuk memastikan bahwa fasilitas tersebut tidak akan dikonversikan
kembali untuk kegiatan- kegiatan yang dilarang. Setiap Negara Pihak
diharuskan pula membiayai verifikasi internasional dalam pemusnahan
senjata kimia dan fasilitas kimia dan fasilitas produksi senjata kimia mereka,
kecuali ditentukan lain oleh Dewan Eksekutif, yang menjadi pelaksana OPCW.

6 Kegiatan-kegiatan yang tidak dilarang menurut KSK
Pasal VI KSK beserta Lampiran tentang Implementasi dan Verifikasi merinci
rezim yang komprehensif bagi kegiatan pengawasan industri kimia yang
dilakukan OPCW melalui deklarasi-deklarasi dan pemeriksaan di tempat (onsite
inspection) secara rutin. Negara Pihak wajib membuat deklarasi bahanbahan
kimia yang disebut dalam ketiga daftar, dan fasilitas-fasilitas yang
dilibatkan dalam semua kegiatan baik yang menyangkut bahan-bahan kimia
tersebut maupun bahan-bahan kimia organik yang tidak termasuk dalam
daftar seperti yang disebut dalam KSK. Bahan kimia dalam ketiga daftar
tersebut akan diinspeksi dengan cara yang berbeda-beda, bergantung pada
tingkat ancaman yang dapat ditimbulkannya terhadap maksud dan tujuan
KSK. Verifikasi fasilitas-fasilitas lain yang menghasilkan bahan-bahan kimia
organik yang tidak termuat dalam daftar akan dimulai pada tahun ke-4 setelah
berlakunya KSK, kecuali Konferensi Negara Pihak menentukan lain pada
Sidang Reguler Ketiga. Prosedur-prosedur Deklarasi dan Inspeksi tersebut
diterapkan pada fasilitas-fasilitas industri kimia jika jumlah bahan-bahan kimia
yang ditangani oleh fasilitas-fasilitas tersebut melampaui ambang batas yang
ditentukan bagi setiap daftar seperti disebut dalam KSK.

7 Langkah-langkah Implementasi Nasional
Sesuai dengan Pasal VII KSK, Negara Pihak wajib mengambil langkahlangkah
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang relevan
untuk menjamin implementasi KSK di tingkat nasional. Negara Pihak juga
diminta untuk membentuk dan menunjuk Otorita Nasional, yang akan
berfungsi sebagai pusat penghubung (focal point for liaison) dengan OPCW.

8 Organisasi
Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (Organisation for Prohibition of
Chemical Weapons) dibentuk berdasarkan Pasal VIII KSK. Konferensi
Negara-negara Pihak adalah lembaga pembuat keputusan tertinggi, yang
bertemu setiap tahun dan mengadakan sidang istimewa bila perlu. Dewan
Eksekutif, yang beranggotakan 41 negara pihak yang mewakili 5 kelompok
regional secara bergiliran mengawasi kegiatan OPWC dan bertanggungjawab
kepada Konferensi Negara-negara Pihak. Sekretariat Teknis, yang diketuai
oleh seorang Direktur Jenderal, menjalankan tugas-tugas praktis organisasi.
Komponen utama Sekretariat Teknis adalah para inspektur yang menjalankan
kegiatan verifikasi berdasarkan KSK.

9 Konsultasi. Kerja Sama. dan Pencarian Fakta
Pasal IX KSK beserta Lampiran tentang Implementasi dan Verifikasi mengatur
masalah inspeksi paksaan berdasarkan pemberitahuan mendadak (shortnotice
challenge inspections) yang dilakukan oleh OPCW terhadap setiap
fasilitas atau lokasi yang terletak di wilayah atau tempat-tempat lain di bawah
yurisdiksi atau pengawasan suatu Negara Pihak, yang bertujuan untuk
memberikan kejelasan mengenai fakta tentang kemungkinan adanya
ketidaktaatan (non compliance) dan menyelesaikan setiap masalah. Negara
Pihak yang diinspeksi dapat memanfaatkan teknik-teknik akses terbatas
berdasarkan kesepakatan (managed access) untuk melindungi instalasiinstalasi
sensitif dan informasi-informasi yang tidak ada kaitannya dengan
KSK. Pasal ini memuat pula ketentuan-ketentuan tentang konsultasi dan
klarifikasi.

10 Bantuan dan Perlindungan terhadap Ancaman Senjata Kimia
Berdasarkan Pasal X KSK, Negara Pihak yang menghadapi ancaman atau
serangan yang melibatkan senjata kimia dapat memperoleh bantuan,
termasuk peralatan pertahanan, seperti alat-alat sensor, pakaian pelindung,
peralatan dekontaminasi dan penawar, serta saran-saran mengenai langkah-
langkah defensif terhadap serangan senjata kimia. Negara-negara pihak
diwajibkan memberikan bantuan dengan memilih satu atau lebih langkah
berikut: sumbangan kepada Dana Sukarela yang dibentuk oleh Konferensi
Negara-negara Pihak; membuat persetujuan dengan OPCW untuk
memperoleh bantuan, dan deklarasi mengenai jenis-jenis bantuan yang harus
diberikan dalam keadaan darurat.

11 Pembangunan Ekonomi dan Teknologi
Pasal XI KSK menjamin pertukaran secara luas dari bahan-bahan kimia,
peralatan, informasi ilmiah dan teknis yang berkaitan dengan pengembangan
dan penerapan proses kimiawi untuk tujuan-tujuan yang tidak dilarang oleh
KSK di antara sesama Negara Pihak. Negara Pihak juga sepakat untuk
menyesuaikan peraturan nasionalnya di bidang perdagangan bahan kimia
dengan tujuan dan maksud dari KSK.

12 Langkah untuk Memulihkan Keadaan dan Menjamin Ketaatan Termasuk
Sanksi
Pasal XII KSK mengatur sejumlah hukuman. termasuk sanksi, dalam hal
suatu Negara Pihak tidak dapat mengambil tindakan pemulihan yang
berkenaan dengan ketaatan kepada KSK. Kasus-kasus yang cukup berat
dapat diserahkan kepada Dewan Keamanan untuk diambil tindakan lebih
lanjut, termasuk yang bersifat memaksa sesuai dengan Piagam PBB.

13 Pasal XIII sampai dengan Pasal XXIV KSK mengatur hubungan Konvensi ini
dengan perjanjian internasional lain. penyelesaian sengketa, amandemen,
masa berlaku dan penarikan diri, status lampiran, penandatanganan, mulai
berlakunya KSK, pensyaratan, penyimpanan. dan naskah-naskah otentik.
KSK tidak memungkinkan adanya pensyaratan (reservation), kecuali terhadap
lampiran sepanjang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan KSK.

14 Lampiran tentang Bahan Kimia memuat tiga daftar bahan kimia yang
dibedakan menurut tingkat kegiatan verifikasi dan pedoman bagi ketiga daftar
tersebut;

15 Lampiran tentang Implementasi dan Verifikasi memuat 11 bagian tentang
verifikasi tertentu dan prosedur-prosedur lain yang dimaksudkan untuk
pemusnahan senjata kimia dan fasilitas produksi senjata kimia, inspeksiinspeksi
rutin terhadap industri, inspeksi paksaan, dan langkah-Iangkah
tertentu bagi penyelidikan terhadap kasus-kasus yang dicurigai menggunakan
senjata kimia. Lampiran ini juga memuat ketentuan-ketentuan khusus yang
mengatur perdagangan bahan-bahan kimia yang termasuk dalam daftar
dengan negara-negara yang bukan pihak KSK.

16 Lampiran tentang Perlindungan terhadap Informasi Rahasia berisi prinsipprinsip
umum bagi penanganan informasi rahasia, penempatan dan
pengaturan personil dalam Sekretariat Teknis OPCW, langkah-langkah untuk
menjamin kerahasiaan informasi dan instalasi sensitif selama inspeksi
berlangsung, serta prosedur-prosedur dalam hal bocornya kerahasiaan.

V. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Yang disahkan dengan Undang-undang ini adalah Convention on the Prohibition of
the Development, Production Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on
their Destruction sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
Untuk kepentingan pemasyarakatannya, salinan naskah asli beserta lampirannya
dalam bahasa Inggeris sebagaimana dimaksud dalam Pasal l diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, dan apabila terjadi perbedaan pengertian terhadap
terjemahan dalam bahasa Indonesia maka dipergunakan salinan naskah aslinya
dalam bahasa Inggeris.

Pasal 2
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3786

Sumber : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum (1998)

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum (1998)
Undang-Undang
Nomor : 9
Tahun : 1998
Tentang : KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN I998

TENTANG

KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : 
a. bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah
hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;
b. bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan
pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
c. bahwa untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan
keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya
suasana yang aman, tertib,dan damai;
d. bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan
secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, c, dan d, perlu dibentuk Undang-undang tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Mengingat : 
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar
1945.

Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : 
UNDANG-UNDANG TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN
PENDAPAT DI MUKA UMUM.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk
menyampaikan pikiran dengan lisan. tulisan. dan sebagainya secara bebas dan
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di
tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang.
3. Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau
lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara
demonstratif di muka umum.
4. Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum.
5. Rapat umum adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan
pendapat dengan tema tertentu.
6. Mimbar bebas adalah kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang
dilakukan secara bebas terbuka tanpa tema tertentu.
7. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia.
8. Polri adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 2
(1) Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan
pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berlandaskan pada:
a. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;
b. asas musyawarah dan mufakat;
c. asas kepastian hukum dan keadilan;
d. asas profesionalitas; dan
e. asas manfaat.

Pasal 4
Tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum
adalah:
a. mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan
hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam
menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
c. mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas
setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan
berdemokrasi;
d. menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 5
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:
a. mengeluarkan pikiran secara bebas;
b. memperoleh perlindungan hukum.

Pasal 6
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk:
a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Pasal 7
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara. aparatur
pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. melindungi hak asasi manusia;
b. menghargai asas legalitas;
c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan
d. menyelenggarakan pengamanan.

Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab untuk berupaya agar
penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan
damai.

BAB IV
BENTUK-BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

Pasal 9
(1) Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:
a. unjuk rasa atau demonstrasi;
b. pawai;
c. rapat umum; dan atau
d. mimbar bebas.

(2) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali:
a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah. instalasi militer, rumah
sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal angkutan darat,
dan obyek-obyek vital nasional;
b. pada hari besar nasional.

(3) Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan
keselamatan umum.

Pasal 10
(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
oleh yang bersangkutan. pemimpin, atau penanggungjawab kelompok.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat ) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri
setempat.
(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

Pasal 11
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l0 ayat (1) memuat:
a. maksud dan tujuan;
b. tempat, lokasi, dan rute;
c. waktu dan lama;
d. bentuk;
e. penanggung jawab;
f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau
h. jumlah peserta.

Pasal 12
(1) Penanggungjawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, dan
Pasal 11 wajib bertanggungjawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman,
tertib, dan damai.
(2) Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi
dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima)orang penanggungjawab.

Pasal 13
(1) Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
Polri wajib:
a. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan;
b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka
umum;
c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan
penyampaian pendapat;
d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
(2) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum. Polri
bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau
peserta penyampaian pendapat di muka umum.
(3) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung
jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban
umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Pasal 14
Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara
tertulis dan langsung oleh penanggung jawab kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua
puluh empat) jam sebelum waktu pelaksanaan.

BABV
SANKSI

Pasal 15 
Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan apabila tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 10, dan Pasal 11.

Pasal 16
Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang
melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 17
Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang ini dipidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan
1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok.

Pasal 18
(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak
warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi
ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) adalah kejahatan.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak diatur khusus atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 26 Oktober 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 26 Oktober 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AKBARTANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 181 


PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1998

TENTANG

KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

UMUM
Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang
dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang".
Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai
pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan
menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak
memandang batas-batas".
Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara
lisan dan tulisan dan sebagainya harus tetap dipelihara agar seluruh layanan sosial dan
kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan
atau pelanggaran hukum yang, bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari
proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak
menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam
kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraluran
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana
tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang antara lain
menetapkan sebagai berikut:

1. setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan
pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh;
2. dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk sematamata
pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud
untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang
lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban. serta
kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis;
3. hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan
dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dikaitkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi materi hukum, aparatur
hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum dan hak asasi manusia. pemerintah
Republik Indonesia berkewajiban mewujudkannya dalam bentuk sikap politik yang
aspiratif terhadap keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi
kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan hubungan antar bangsa, maka
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan:

1. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;
2. asas musyawarah dan mufakat;
3. asas kepastian hukum dan keadilan;
4. asas proporsionalitas;
5. asas manfaat.

Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggungjawab dalam
berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Berlandaskan atas
kelima asas kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut maka
pelaksanaannya diharapkan dapat mencapai tujuan untuk:

1. mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu hak asasi
manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam
menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
3. mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas
setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan
berdemokrasi;
4. menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

Sejalan dengan tujuan di atas rambu-rambu hukum harus memiliki karakteristik otonom,
responsif dan mengurangi atau meninggalkan karakteristik yang represif.
Dengan berpegang teguh pada karakteristik tersebut, maka Undang-undang tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. merupakan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bersifat regulatif. sehingga disatu sisi dapat melindungi hak
warga negara sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. dan di sisi lain dapat
mencegah tekanan-tekanan, baik fisik maupun psikis, yang dapat mengurangi jiwa dan
makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Undang-undang ini mengatur bentuk dan tata cara penyampaian pendapat di muka
umum. dan tidak mengatur penyampaian pendapat melalui media massa, baik cetak
maupun elektronika dan hak mogok bekerja di lingkungan kerjanya.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Penyampaian pendapat di muka umum”, adalah
penyampaian pendapat secara lisan, tulisan. dan sebagainya.
“Penyampaian pendapat secara lisan” antara lain; pidato. dialog, dan diskusi.
“Penyampaian pendapat secara tulisan” antara lain: petisi, gambar, pamflet, poster,
brosur, selebaran, dan spanduk. Adapun yang dimaksud dengan:dan sebagainya"
antara lain: sikap, membisu dan mogok makan.

Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas proporsionalitas” adalah asas yang meletakkan
segala kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang
dilakukan oleh warga negara, institusi, maupun aparatur pemerintah, yang dilandasi
oleh etika individual, etika sosial, dan etika institusional.

Huruf e
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan “mengeluarkan pikiran secara bebas” adalah mengeluarkan
pendapat, pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik,
psikis, atau pembatasan yang bertentangan dengan tujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 Undang-undang ini.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “memperoleh perlindungan hukum” termasuk di dalamnya
jaminan keamanan.

Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan “menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain" adalah
ikut memelihara dan menjaga hak dan kebebasan orang lain untuk hidup aman,
tertib, dan damai.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum”
adalah mengindahkan norma agama, kesusilaan, dan kesopanan dalam kehidupan
masyarakat.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Yang dimaksud dengan "menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban
umum” adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnya bahaya bagi
ketenteraman dan keselamatan umum, baik yang menyangkut orang, barang
maupun kesehatan.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa"
adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnya permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan dalam masyarakat.

Pasal 7
Yang dimaksud dengan "aparatur pemerintah" adalah aparatur pemerintah yang
menyelenggarakan pengamanan.
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan pengamanan” adalah segala daya
upaya untuk menciptakan kondisi aman, tertib, dan damai, termasuk mencegah
timbulnya gangguan atau tekanan, baik fisik maupun psikis yang berasal dari mana
pun juga.

Pasal 8 
Yang dimaksud dengan “berperan serta secara bertanggungjawab” adalah hak
masyarakat untuk memberi dan memperoleh informasi atau konfirmasi kepada atau dari
aparatur pemerintah agar terjamin keamanan dan ketertiban lingkungannya, tanpa
menghalangi terlaksananya penyampaian pendapat di muka umum.

Pasal 9
Ayat(1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengecualian “di lingkungan istana kepresidenan"
adalah istana presiden dan istana wakil presiden dengan radius 100 meter
dari pagar luar.
Pengecualian untuk “instalasi militer” meliputi radius 150 meter dari pagar
luar.
Pengecualian untuk “obyek-obyek vital nasional” meliputi radius 500 meter
dari pagar luar.

Huruf b
Yang dimaksud dengan hari-hari besar nasional adalah:
1. Tahun Baru;
2. Hari Raya Nyepi;
3. Hari Wafat Isa Almasih;
4. Isra Mi’raj;
5. Kenaikan Isa Almasih;
6. Hari Raya Waisak;
7. Hari Raya Idul Fitri;
8. Hari Raya Idul Adha;
9. Hari Maulid Nabi;
10. 1 Muharam;
11. Hari Natal;
12. Agustus.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat(2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Polri setempat” adalah satuan Polri terdepan dimana
kegiatan penyampaian pendapat akan dilakukan apabila kegiatan dilaksanakan
pada:
a. 1 (satu) kecamatan. pemberitahuan ditujukan kepada Polsek setempat;
b. 2 (dua) kecamatan atau lebih dalam lingkungan kabupaten/kotamadya.
pemberitahuan ditujukan kepada Polres setempat;
c. 2 (dua) kabupaten/kotamadya atau lebih dalam 1 (satu) propinsi,
pemberitahuan ditujukan kepada Polda setempat;
d. 2 (dua) propinsi atau lebih, pemberitahuan ditujukan kepada Markas Besar
Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ayat(4)
Cukup jelas

Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan “tempat” dalam Pasal ini adalah tempat peserta berkumpul
dan berangkat ke lokasi. Yang dimaksud dengan "Lokasi” dalam Pasal ini adalah
tempat penyampaian pendapat di muka umum.
Yang dimaksud dengan "rute.” dalam Pasal ini adalah jalan yang dilalui oleh peserta
penyampaian pendapat di muka umum dari tempat berkumpul dan berangkat
sampai di lokasi yang dituju dan atau sebaliknya.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Yang dimaksud dengan "bentuk” adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1).

Huruf e
Penanggung jawab adalah orang yang memimpin dan atau menyelenggarakan
pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang bertanggung jawab agar
pelaksanaannya berlangsung dengan aman, tertib, dan damai.

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Koordinasi antara Polri dengan penanggungjawab dimaksudkan untuk
mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengganggu terlaksananya
penyampaian pendapat di muka umum secara aman tertib, dan damai,
terutama penyelenggaraan pada malam hari.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat(3)
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15 
Kewajiban dan tanggungjawab yang dimaksud dalam Pasa1 6 huruf a, b, d, dan e adalah
kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana telah diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16
Yang dimaksud dengan “sanksi hukum” adalah sanksi hukum pidana, sanksi hukum
perdata, atau sanksi administrasi. Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan
perundang-undangan” adalah ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana,
hukum perdata, dan hukum administrasi.

Pasal 17
Yang dimaksud dengan “melakukan tindak pidana” dalam Pasal ini adalah termasuk
perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3789 

Sumber : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Undang-Undang Daruat Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1950 (1950)

Undang-Undang Daruat Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1950 (1950)
Undang-Undang
Nomor : 2
Tahun : 1950
Tentang : PENERBITAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT DAN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT TENTANG MENGELUARKAN, MENGUMUMKAN DAN MULAI BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG FEDERAL DAN PERATURAN PEMERINTAH

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA SERIKAT
NOMOR 2 TAHUN 1950

TENTANG

PENERBITAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT DAN BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT TENTANG MENGELUARKAN,
MENGUMUMKAN DAN MULAI BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG FEDERAL DAN
PERATURAN PEMERINTAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

Menimbang : 
a. bahwa perlu diadakan peraturan tentang mengeluarkan,
mengumumkan dan mulai berlakunya undang-undang federal dan
peraturan Pemerintah;
b. bahwa untuk pengumuman Undang-undang dan Peraturan Pemerintah
itu, begitu pula untuk pengumuman atau penyiaran peraturanperaturan
dan surat-surat lain, perlu diadakan alat pengumuman dan
penyiaran resmi dari Pemerintah dengan aturan-aturan yang tertentu.

Menimbang : 
Bahwa karena keadaan-keadaan yang mendesak, peraturan-peraturan
tersebut di atas perlu segera diadakan.

Mengingat : 
Pasal 143 dan pasal 139 Konstitusi.

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut Undang-undang darurat Nomor 1 tertanggal 27 Desember 1949.

Menetapkan: 
UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PENERBITAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT DAN BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA SERIKAT DAN TENTANG MENGELUARKAN,
MENGUMUMKAN DAN MULAI BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
FEDERAL DAN PERATURAN PEMERINTAH.

BAB I
TENTANG PENERBITAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT
DAN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT 

Pasal 1
Pemerintah menerbitkan suatu Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan suatu
Berita Negara Republik Indonesia Serikat.

Pasal 2
Lembaran Negara dicetak dalam ukuran oktavo, dan Berita Negara dalam ukuran folio.
Waktu penerbitannya tidak ditentukan dan dua-duanya disebut dengan tahun
penerbitannya dan nomor berturut.

Pasal 3
Dalam selembar Lembaran Negara tersendiri dimuat sebagai pengumuman tiap-tiap
undang-undang federal dan tiap-tiap peraturan Pemerintah.
Dalam Berita Negara dimuat peraturan mengenai hal-hal yang dengan undang-undang
federal atau dengan peraturan Pemerintah diserahkan kepada alat perlengkapan
Republik Indonesia Serikat lain, dan juga surat-surat lain yang harus ataupun dianggap
perlu atau berguna disiarkan dalam Berita Negara.

Pasal 4
Penyelenggaraan penerbitan Lembaran Negara dan Berita Negara,teristimewa pemuatan
Undang-undang federal dan Peraturan Pemerintah dalam Lembaran Negara, diserahkan
kepada Menteri Kehakiman.

Pasal 5
Undang-undang federal dan Peraturan Pemerintah, setelah di tanda tangani oleh
Presiden dan di tanda tangani serta oleh menteri yang bersangkutan, diumumkan oleh
Presiden.
Menteri tersebut mengirimkan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah itu kepada
Menteri Kehakiman, yang menyelenggarakan dengan segera termuatnya dalam
Lembaran Negara.
Jikalau diperlukan penandatanganan serta oleh lebih dari satu menteri, maka pengiriman
itu dilakukan oleh menteri yang terakhir menandatanganinya.

Pasal 6
Menteri Kehakiman memberi nomor kepada Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
yang dimuatnya dalam Lembaran Negara, masing-masing menurut nomor urutan sendiri
dan tiap-tiap tahun dimulai dengan nomor 1, dan menulis nama Undang-undang atau
peraturan Pemerintah itu pada pucuknya.
Pada kaki sebelah kiri Undang-undang atau Peraturan Pemerintah itu Menteri Kehakiman
membubuh catatan sebagai berikut:

Diumumkan di ....... (nama tempat)
pada ...... (hari bulan dan tahun)
MENTERI KEHAKIMAN,
.......... (tanda tangan)
(........... nama Menteri) 

Pasal 7
Surat-surat asli mengenai Undang-undang atau Peraturan Pemerintah itu oleh Menteri
Kehakiman dikirimkan kepada Direktur Kabinet Presiden untuk disimpan dalam arsip
Kabinet Presiden.

Pasal 8
Jikalau dalam sesuatu peraturan yang telah ada dan yang menjadi peraturan yang
dilakukan untuk penyelenggaraan Pemerintahan Republik Indonesia Serikat, disebut atau
dimaksud "Staatsblad voor Indonesiƫ" atau "Javase Courant", maka sejak berlakunya
undang-undang darurat ini harus dibaca sebagai gantinya "Lembaran Negara Republik
Indonesia Serikat" atau "Berita Negara Republik Indonesia Serikat", tergantung pada jenis
peraturan atau hal yang dimuat dalam lembaran-lembaran resmi tersebut di atas.

BAB II
TENTANG MENGELUARKAN, MENGUMUMKAN DAN MULAI BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG FEDERAL DAN PERATURAN PEMERINTAH

Pasal 9
Undang-undang federal dikeluarkan dengan bentuk dan keterangan-keterangan sebagai
berikut:

Presiden Republik Indonesia Serikat,

Menimbang:
bahwa.... dst.; (alasan-alasan pembentukan undang-undang).

Mengingat:
......;(pasal-pasal Konstitusi atau Undang-undang lain yang menjadi dasar kekuasaan atau
kewajiban pengundang-undang).

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (dan Senat: jika diperlukan);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: ........ (nama undang-undang)

Kemudian dimuat isi undang-undang, dan sesudah itu ditulis di sebelah kanan, sebagai
tanda pensahan oleh Pemerintah:

Disahkan di ....... (nama tempat)
pada .......... (hari bulan dan tahun)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

(tanda tangan Presiden)
(nama Presiden)

MENTERI ...... (yang bersangkutan).

(tanda tangan serta Menteri)
(nama Menteri).

Jikalau Pemerintah mempergunakan kuasanya termaktub pada pasal 132 Konstitusi,
maka hal ini dinyatakan dengan menghapuskan perkataan-perkataan: "dan Senat"
tersebut di atas, dan dengan memuat pasal 132 Konstitusi dalam: Mengingat:.

Jikalau Pemerintah mempergunakan kuasanya termaktub pada pasal 136 ayat 3
Konstitusi, maka hal ini dinyatakan dengan menghapuskan perkataan-perkataan: "dan
Senat" seperti di atas, dan dengan memuat dalam: Menimbang: keterangan: bahwa usul
undang-undang ini telah ditolak oleh Senat, serta dengan memuat dalam: Mengingat:
pasal 136 ayat 3 dan pasal 137 ayat 1 Konstitusi.

Pasal 10
Undang-undang darurat dikeluarkan dengan bentuk dan keterangan-keterangan seperti
undang-undang biasa dengan perbedaan:
1. dalam: Menimbang:, harus diterangkan:
bahwa karena keadaan-keadaan yang mendesak, peraturan ini perlu segera
diadakan;
2. keterangan-keterangan: "Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat",
dihapuskan;
3. perkataan: "Disahkan" di bawah isi undang-undang diganti dengan
perkataan:"Ditetapkan".

Pasal 11
Peraturan Pemerintah dikeluarkan dengan bentuk dan perkataan-perkataan seperti
Undang-undang darurat, dengan perbedaan, bahwa keterangan: "bahwa karena
keadaan-keadaan yang mendesak......... dst. " tidak dimuat.

Pasal 12
Pengumuman oleh Presiden sebagaimana tertera dalam pasal 5 dilakukan atas ketentuan
yang dinyatakan dalam akhir isi undang-undang atau Peraturan Pemerintah sebagai
berikut:
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengumuman undangundang/undang-undang
darurat/peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat.

Pasal 13
Jikalau dalam sesuatu peraturan tidak ditentukan tanggal yang lain, maka peraturan itu
berlaku mulai pada hari ketiga puluh sesudah hari diumumkan.

Pasal 14
Undang-undang darurat ini dapat disebut "Undang-undang Lembaran Negara dan
pengumuman", dan mulai berlaku pada 17 Januari 1950.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Undangundang/Undang-undang
darurat/Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat.

Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 17 Januari Tahun 1950
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,
Ttd.
(SOEKARNO) 

MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
(SOEPOMO)

Diumumkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 19 Januari 1950
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
(SOEPOMO).

Sumber : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Perubahan Undang-Undang NO. 2 Tahun 1956 (1956)

Perubahan Undang-Undang NO. 2 Tahun 1956 (1956)
Undang-Undang
Nomor : 2
Tahun : 1956
Tentang : PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 1956

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1956

TENTANG

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 1956

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : 
a. bahwa pembentukan Konstituante dapat dipercepat dengan
mengadakan perubahan seperlunya terhadap Undang-undang No. 2
tahun 1956;
b. bahwa karena keadaan-keadaan yang mendesak, peraturan ini perlu
segera diadakan.

Mengingat : 
Pasal 96 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : 
UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PERUBAHAN UNDANGUNDANG
NO. 2 TAHUN 1956

Pasal 1

Pasal 1 Undang-undang No. 2 tahun 1956 huruf 1 di rubah sehingga berbunyi:
1. Pasal 107 ditambah dengan ayat 4 yang berbunyi:
(4) Dalam tempo tujuh hari sesudah Panitia Pemeriksaan Menerima surat-surat
tersebut dalam ayat 1. Panitia tersebut harus sudah selesai dengan
pekerjaannya dan melaporkan hasil-hasilnya kepada Pemerintah.
Jika menurut laporan itu, jumlah terpilih yang diterima sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat sudah berjumlah dua ratus, atau yang diterima sebagai
anggota Konstituante sudah berjumlah empat ratus, maka Dewan Perwakilan
Rakyat atau Konstituante dapat dilantik oleh Presiden."

Pasal 2
Undang-undang Darurat ini berlaku sejak diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
Darurat ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 4 Oktober 1956
WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MUHAMMAD HATTA

MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
(MOELJATNO)

MENTERI DALAM NEGERI,
Ttd.
(SOENARJO)

Diundangkan
Pada Tanggal 4 Oktober 1956
MENTERI KEHAKIMAN,
Ttd.
(MOELJATNO)

LEMBARAN NEGARA TAHUN 1956 NOMOR 4 

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1956

TENTANG

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 1956

Dengan Undang-undang No. 2 tahun 1956 pasal 107 Undang-undang No.7 tahun 1953
telah ditambah dengan sebuah ayat.
Dalam alinea kedua ayat yang ditambah itu terdapat ketentuan, bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat sudah dapat dilantik, jika jumlah terpilih yang diterima sebagai anggota sudah dua
ratus.
Agar Konstituante juga telah dapat hendaknya dilantik apabila jumlah terpilih yang
diterima sebagai anggota telah mencapai suatu jumlah tertentu, maka Pasal I sub 1 dari
Undang-undang No.2 tahun 1956 tersebut ditambah dengan suatu ketentuan bahwa
Konstituante dapat dilantik, jika jumlah terpilih yang diterima sebagai anggota telah
sebanyak empat ratus orang.

Tambahan Lembaran Negara No.46.

Sumber : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia