Undang-Undang
Nomor : 23
Tahun : 2004
Tentang : PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa amandan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan
falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia
dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapus;
c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang
kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat
perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah
tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di
Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga;
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) danayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I,
Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan
dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah
tangga.
4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk
memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan
oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang
langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga
sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan
perlindungan kepada korban.
7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini
meliputi :
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c
dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu
selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
berdasarkan asas :
a. penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. nondiskriminasi; dan
d. perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :
a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah
tangga;
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
dengan cara :
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf c meliputi :
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian
ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan :
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan
kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, Pemerintah :
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan
edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c. menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah
tangga serta menetapkan standar dan akreditasi
pelayanan yang sensitif gender.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi
terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan
tugas masing-masing dapat melakukan upaya :
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor
kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan
pembimbing rohani;
c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme
kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak
yang mudah diakses oleh korban; dan
d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi,
keluarga, dan teman korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan
kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan
upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan
perlindungan.
BAB VI
PERLINDUNGAN
Pasal 16
(1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan
kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera
memberikan perlindungan sementara pada korban.
(2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban
diterima atau ditangani.
(3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian
dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban
tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan
pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah
mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang :
a. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
b. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan; dan
c. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban,
tenaga kesehatan harus :
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar
profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap
korban dan visum et repertum atas permintaan
penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang
memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat
bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah,
pemerintahdaerah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus :
a. melakukan konseling untuk menguatkan dan
memberikan rasa aman bagi korban;
b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban
untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian
dan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan;
c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat
tinggal alternatif; dan
d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam
memberikan layanan kepada korban dengan pihak
kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang
dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah,
pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat :
a. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk
mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan
atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan
membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya;
c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban
sehingga korban merasa aman didampingi oleh
pendamping; dan
d. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis
dan fisik kepada korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus
memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan
memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat
wajib :
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi
mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu
korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan
dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum,
relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses
peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan
dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat
korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau
orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah
tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban
berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat
dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang
bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan
yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota
keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan
dapat diajukan oleh :
a. korban atau keluarga korban;
b. teman korban;
c. kepolisian;
d. relawan pendamping; atau
e. pembimbing rohani.
Pasal 30
(1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam
bentuk lisan atau tulisan.
(2) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera
pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan
tersebut.
(3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan
oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping,
atau pembimbing rohani maka korban harus
memberikan persetujuannya.
(4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan
tanpa persetujuan korban.
Pasal 31
(1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat
mempertimbangkanuntuk :
a. menetapkan suatu kondisi khusus;
b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus
dari perintah perlindungan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara
kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 32
(1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan
pengadilan.
(3) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan
diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa
berlakunya.
Pasal 33
(1) Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan
perintah perlindungan.
(2) Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan,
pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari
korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
(1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul,
pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan
kondisi dalam perintah perlindungan.
(2) Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah
perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan
keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 35
(1) Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya
melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap
pelaku yang diyakini telah melanggar perintah
perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak
dilakukan di tempat polisi itu bertugas.
(2) Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan
dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)
jam.
(3) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap
penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat
(2).
Pasal 36
(1) Untuk memberikan perlindungan kepada korban,
kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti
permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah
perlindungan.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat
perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam.
Pasal 37
(1) Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat
mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya
dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
(2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku
diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali
dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah
tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga
terjadi.
Pasal 38
(1) Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah
melanggar perintah perlindungan dan diduga akan
melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan
dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan
tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi
perintah perlindungan.
(2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat
pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama
30 hari.
(3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disertai dengan surat perintah penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh
pelayanan dari :
a. tenaga kesehatan;
b. pekerja sosial;
c. relawan pendamping; dan/atau
d. pembimbing rohani.
Pasal 40
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesinya.
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga
kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi
kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam
bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau
memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing
rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya
pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik
dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka
berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau
denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima
juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis
dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau
denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah
tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang
tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam
kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah), setiap orang yang :
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah
tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim
dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk
menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu
tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara
pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undangundang
ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang
saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti
yang sah lainnya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 September2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 95
P E N J E L A S A N
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
I. UMUM
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan
damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara
Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga
dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal
ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan
rumah tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung
pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas
perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga
tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi
kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau
ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga
tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan
pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara
fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya
terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk
menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undangundang
yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan
tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri
karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan
kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan
kehidupan.
Undang-undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat
dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku
sebelumnya, antara lain, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women), dan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan
serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga
mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana
penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Selain itu, Undang-undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat
penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif
dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal
diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Untuk melakukan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, Menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan
melaksanakan tindakan pencegahan, antara lain, menyelenggarakan
komunikasi, informasi, dan edukasi tentang pencegahan kekerasan dalam
rumah tangga.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saatnya dibentuk Undang-Undang
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diatur secara
komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada
korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan penyadaran kepada
masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga
merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini adalah termasuk
anak angkat dan anak tiri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan hubungan perkawinan dalam ketentuan ini,
misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan kesetaraan gender adalah suatu keadaan di
mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan
memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak
asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga
secara proporsional.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Yang dimaksud dengan ‘kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah
setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan
hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lembaga sosial” adalah lembaga atau
organisasi sosial yang peduli terhadap masalah kekerasan dalam
rumah tangga, misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pekerja sosial” adalah seseorang yang
mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang
diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik di
bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara
resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional
pekerjaan sosial.
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” adalah setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud dengan kerja sama adalah sebagai wujud peran serta
masyarakat.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Yang dimaksud dengan “relawan pendamping” dalam ketentuan ini
adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling,
terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban
kekerasan.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rumah aman” dalam ketentuan ini
adalah tempat tinggal sementara yang digunakan untuk
memberikan perlindungan terhadap korban sesuai dengan
standar yang ditentukan. Misalnya, trauma center di
Departemen Sosial.
Yang dimaksud dengan “tempat tinggal alternatif” dalam
ketentuan ini adalah tempat tinggal korban yang terpaksa
ditempatkan untuk dipisahkan dan/atau dijauhkan dari
pelaku.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan ini,
misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud “kondisi khusus” dalam ketentuan ini adalah
pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat
tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi, atau
mengintimidasi korban.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga tertentu” adalah lembaga yang
sudah terakreditasi menyediakan konseling layanan bagi pelaku.
Misalnya rumah sakit, klinik, kelompok konselor, atau yang
mempunyai keahlian memberikan konseling bagi pelaku selama
jangka waktu tertentu.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan maksud untuk
melakukan pembinaan terhadap pelaku dan menjaga keutuhan
rumah tangga
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan
selain dari suami isteri adalah pengakuan terdakwa.
Pasal 56
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 4419
Sumber : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
0 komentar:
Post a Comment
Seluruh gambar, artikel ataupun video yang ada di blog ini terkadang berasal dari berbagai sumber.
Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut.
Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami.