Tutorial terbaru, Berita terbaru, Sumber informasi

Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (1998)

Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment
Undang-Undang
Nomor : 5
Tahun : 1998
Tentang : PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA).

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN
OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM,
TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA)

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : 
a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. sehingga segala
bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam.
tidak manusiawi. atau merendahkan martabat manusia harus dicegah
dan dilarang;
b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional
menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hakhak
Asasi Manusia;
c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam
sidangnya pada tanggal 10 Desember 1984 telah menyetujui
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak -Manusiawi.
atau Merendahkan Martabat Manusia) dan Pemerintah Republik
Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 23
Oktober 1985;
d. bahwa konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundangundangan
Republik Indonesia serta selaras dengan keinginan bangsa
Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan memajukan
pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c. dan d
dipandang perlu mengesahkan Convention Against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia)
dengan Undang-undang.

Mengingat : 
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal
27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION
AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING
TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG
KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT
MANUSIA)

Pasal 1
(1) Mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia, atau Merendahkan Martabat
Manusia) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20 dan Reservation
(Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1).
(2) Salinan naskah asli Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia), Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20, dan
Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggris, dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.

Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 28 September 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 28 September 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 164 

PENJELASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN
OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM,
TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA)

I. UMUM
Pada tanggal 9 Desember Tahun 1975 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
telah menerima Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia.

Deklarasi tersebut memuat perlindungan terhadap semua orang dari sasaran
penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia, dan menyatakan perlunya langkah-langkah yang
efektif untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Langkah-langkah ini
mencakup antara lain perbaikan cara

Interogasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain
yang bertanggungjawab terhadap orang-orang yang dirampas kemerdekaannya.
Adapun pengertian penyiksaan dalam Deklarasi ini adalah tindak pidana menurut
ketentuan dalam hukum pidana.

Namun, karena deklarasi itu bersifat tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang selanjutnya diajukan kepada
Sidang Majelis Umum PBB untuk disahkan.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secara konsensus
rancangan konvensi tersebut pada tanggal 10 Desember 1984 yang menyatakan
mulai berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni 1987. Pemerintah Republik
Indonesia menandatangani konvensi itu pada tanggal 23 Oktober 1985.

Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau negaranegara
anggota PBB untuk secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat
internasional yang sangat penting di bidang hak asasi manusia (HAM), termasuk
Konvensi Menentang Penyiksaan. Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993,
Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia
1998-2003 yang berisi kegiatan-kegiatan prioritas dalam rangka pemajuan dan
perlindungan HAM. Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi tersebut
mencakup pengesahan tiga perangkat internasional di bidang HAM, termasuk
Konvensi Menentang Penyiksaan.

Karena didorong oleh rasa tanggung jawab untuk memajukan dan menegakkan hak
asasi manusia dan pembangunan hukum di Indonesia, DPR-RI memutuskan
menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang
tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai salah satu
perangkat internasional di bidang HAM yang sangat penting. Saat ini Konvensi telah
disahkan oleh 105 negara.

Sebagai negara berdaulat dan sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang
berlaku, Indonesia memutuskan untuk menyampaikan suatu pernyataan
(declaration) terhadap Pasal 20 Konvensi. Pernyataan ini menegaskan bahwa
dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimuat dalam konvensi,
kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah Negara Pihak harus tetap dihormati dan
dijunjung tinggi. Pernyataan (declaration) ini tidak mempunyai kekuatan mengikat
secara hukum sehingga pernyataan tersebut sama sekali tidak menghapuskan
kewajiban atau tanggung jawab Negara Pihak untuk melaksanakan isi Konvensi.

Sesuai dengan ketentuan Konvensi, Indonesia juga menyatakan Pensyaratan
(Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi yang mengatur upaya
penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui
Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sikap ini diambil antara lain
atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui jurisdiksi yang mengikat secara
otomatis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Pensyaratan
tersebut bersifat prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang
berlaku.

II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI
1 Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia masih terus terjadi di
berbagai negara dan kawasan dunia, yang diakui secara luas akan dapat
merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur, dan
berbudaya. Dalam rangka menegakkan sendi-sendi masyarakat demikian itu,
seluruh masyarakat internasional bertekad bulat melarang dan mencegah
segala bentuk tindak penyiksaan, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Masyarakat internasional sepakat untuk pelarangan dan pencegahan tindak
penyiksaan ini dalam suatu wadah perangkat internasional yang mengikat
semua Negara Pihak secara hukum.

2 Dalam kaitan itu. Majelis Umum PBB telah menerima Deklarasi Universal
HAM pada tanggal 10 Desember 1948. Pasal 5 Deklarasi ini menjamin
sepenuhnya hak setiap orang untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan dan
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia.

3 Selanjutnya perangkat internasional di bidang HAM yang bersifat sangat
penting lainnya, yakni Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
(Pasal 7), menetapkan bahwa hak tersebut merupakan hak fundamental yang
tidak boleh dikurangi dengan alasan apapun (nonderoglabe rights).

III. ALASAN INDONESIA MENJADI NEGARA PIHAK DALAM KONVENSI
1 Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat
konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk mencegah dan
melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan ini Konvensi ini.

2 Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang
Dasar 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan
perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan pelarangan,
segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat
manusia. Namun perundang-undangan itu karena belum sepenuhnya sesuai
dengan Konvensi, masih perlu disempurnakan.

3 Penyempurnaan perundang-undangan nasional tersebut, akan meningkatkan
perlindungan hukum secara lebih efektif, sehingga akan lebih menjamin hak-
hak setiap warga negara bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
manusia, demi tercapainya suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur,
dan berbudaya.

4 Suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya akan mampu
mewujudkan upaya bersama untuk memelihara perdamaian, ketertiban
umum, dan kemakmuran dunia serta melestarikan peradaban umat manusia.

5 Pengesahan dan pelaksanaan isi Konvensi secara bertanggungjawab
menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan
perlindungan HAM, khususnya hak bebas dari penyiksaan. Hak ini juga akan
lebih meningkatkan citra positif Indonesia di dunia internasional dan
memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia.

IV. POKOK-POKOK ISI KONVENSI
1 Konvensi menentang penyiksaan terdiri atas pembukuan dengan 6 paragraf
dan batang tubuh dengan 3 bab yang terdiri atas 33 pasal.
a. Pembukaan meletakkan dasar-dasar dan tujuan Konvensi. Dalam
konsideran secara tegas dinyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah
lebih mengefektifkan perjuangan di seluruh dunia dalam menentang
penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
b. Bab I (Pasal 1-16) memuat ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur
definisi tentang penyiksaan dan kewajiban Negara Pihak untuk
mencegah dan melarang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
c. Bab II (Pasal 17-24) mengatur ketentuan mengenai Komite Menentang
Penyiksaan (Committee Against Torture)dan tugas serta
kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan
Konvensi.
d. Bab III (Pasal 25-33) merupakan ketentuan penutup yang memuat halhal
yang berkaitan dengan mulai berlakunya Konvensi, perubahan,
pensyaratan (reservation), ratifikasi dan aksesi, pengunduran diri serta
mekanisme penyelesaian perselisihan antar Negara Pihak.

2 Ketentuan-ketentuan Pokok Konvensi
Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari
atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) dan
orang lain yang bertindak dalam jabatannya.
Adapun pelarangan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi ini tidak
mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, atau diakibatkan
oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Negara Pihak wajib mengambil
langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah efektif lainnya
guna mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah yurisdiksinya. Tidak
terdapat pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan
politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya yang dapat dijadikan
sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Dalam kaitan ini, perintah dari
atasan atau penguasa (public authority) juga tidak dapat digunakan sebagai
pembenaran atas suatu penyiksaan.
Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan sebagai tindak
pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Hal yang sama berlaku
pula bagi siapa saja yang melakukan percobaan, membantu, atau turut serta
melakukan tindak penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur bahwa
pelaku tindak pidana tersebut dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan
sifat tindak pidananya.
Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak penyiksaan
sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Konvensi selanjutnya
melarang Negara Pihak untuk mengusir, mengembalikan, atau
mengekstradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang
cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu menjadi sasaran penyiksaan.
Negara Pihak lebih lanjut harus melakukan penuntutan terhadap seseorang
yang melakukan tindak penyiksaan apabila tidak mengekstradiksikannya.
Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam proses peradilan atas
tindak penyiksaan dan menjamin bahwa pendidikan dan penyuluhan
mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam
program pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil, atau militer,
petugas kesehatan, pejabat publik dan orang-orang lain yang terlibat dalam
proses penahanan, permintaan keterangan (interogasi), atau perlakuan
terhadap setiap pribadi/individu yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan.
Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya bahwa korban
suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk
mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk
mendapatkan rehabilitasi.

3 Implementasi Konvensi
Implementasi Konvensi dipantau oleh Komite Menentang Penyiksaan
(Committee Againts Torture) yang terdiri dari sepuluh orang pakar yang
bermoral tinggi dan diakui kemampuannya di bidang HAM.
Negara pihak harus menanggung pembiayaan yang dikeluarkan oleh para
anggota Komite dalam menjalankan tugasnya dan pembiayaan
penyelenggaraan sidang Negara pihak dan sidang Komite.
Menurut ketentuan Pasal 19, Negara Pihak harus menyampaikan kepada
Komite, melalui Sekretaris Jenderal PBB, laporan berkala mengenai langkahlangkah
yang telah mereka lakukan dalam melaksanakan kewajibannya
menurut Konvensi. Setiap laporan akan dipertimbangkan oleh Komite, yang
selanjutnya dapat memberikan tanggapan umum dan memasukkan informasi
tersebut dalam laporan tahunannya kepada Negara pihak dan kepada
Sekretaris Jenderal PBB.
Selanjutnya melalui penyampaian laporan berkala oleh Negara Pihak,
pemantauan atas pelaksanaan Konvensi juga dapat dilakukan melalui caracara
berikut:

a. Menurut Pasal 20, apabila Komite menerima informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan (reliable), bahwa penyiksaan dilakukan secara
sistematis di wilayah suatu Negara Pihak. Komite harus mengundang
Negara pihak tersebut untuk bekerja sama membahas informasi
tersebut dan Komite menyampaikan hasil pengamatannya. Komite
dapat memutuskan, apabila informasi tersebut benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan, segera melaporkannya kepada Komite dan
menugaskan anggotanya seorang atau lebih, melakukan suatu
penyelidikan rahasia dan segera melaporkan hasilnya kepada Komite.
Dengan persetujuan Negara Pihak, penyelidikan semacam itu dapat
berupa kunjungan ke wilayah Negara Pihak tersebut.

b. Negara Pihak. sesuai dengan ketentuan Pasal 21, dapat membuat
deklarasi yang mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan
membahas laporan pengaduan (communications) suatu Negara Pihak
yang menyatakan bahwa Negara Pihak lain tidak memenuhi
kewajibannya berdasarkan Konvensi. Komite hanya berwenang
menerima dan membahas laporan pengaduan oleh Negara Pihak yang
telah membuat Deklarasi. Komite tidak berhak menerima dan
membahas laporan pengaduan tentang suatu Negara Pihak yang tidak
membuat suatu Deklarasi.

c. Negara Pihak, sesuai dengan ketentuan Pasal 22, dapat membuat
deklarasi mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan
membahas laporan pengaduan dari atau atas nama pribadi individu
yang berada dalam yurisdiksinya,yang menyatakan diri menjadi korban
pelanggaran yang dilakukan Negara Pihak itu terhadap Konvensi.
Komite tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan jika
menyangkut suatu Negara Pihak yang tidak membuat Deklarasi. Komite
juga tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan dari
seseorang, kecuali jika Komite menyatakan bahwa:
1) Pengaduan tersebut belum pernah atau tidak sedang dibahas oleh
prosedur penyelesaian atau penyelidikan internasional lainnya;
2) Perorangan yang dimaksudkan sudah menggunakan segala
upaya penyelesaian hukum di dalam negerinya.

4 Pensyaratan (Reservation) dan Deklarasi (Declaration)
Konvensi ini memperbolehkan Negara Pihak mengajukan pensyaratan
terhadap 2 pasal, yakni:
a. Menyatakan tidak mengakui kewenangan Komite Menentang
Penyiksaan dalam Pasal 20, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat
(1) Konvensi.
b. Menyatakan tidak terikat pada pengajuan penyelesaian suatu
perselisihan di antara Negara Pihak kepada Mahkamah Internasional,
berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Konvensi.
c. Konvensi ini juga memungkinkan Negara Pihak membuat deklarasi
mengenai kewenangan Komite Menentang Penyiksaan, sebagaimana
diatur oleh Pasal 21 dan Pasal 22 Konvensi.

V. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1)
Diajukannya DekIarasi (Declaration) terhadap PasaI 20 adalah berdasarkan prinsip
untuk menghormati kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Negara Pihak dan
diajukannya Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) adalah
berdasarkan prinsip untuk tidak menerima kewajiban dalam pengajuan perselisihan
kepada Mahkamah Internasional, kecuali dengan kesepakatan Para Pihak.
Ayat(2)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli Konvensi. Deklarasi terhadap
Pasal 20 dan Pensyaratan terhadap Pasal 30ayat (1) dalam bahasa Inggris.

Pasal 2
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3783

LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER, CRUEL, INHUMAN
OR DEGRADING TREA TMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAUPENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK
MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA)

DEKLARASI TERHADAP PASAL 20 DAN PENSYARATAN TERHADAP PASAL 30
AYAT (1) KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU
PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, DAN MERENDAHKAN
MARTABAT MANUSIA

Pernyataan:
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan
dan keutuhan wilayah suatu negara.

Pensyaratan:
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat pada ketentuan Pasal 30 ayat
(1) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan
penafsiran atau penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur
sebagaimana diatur dalam ayat (1) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah
Internasional! hanya berdasarkan kesepakatan para Pihak yang berselisih.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE 

LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUDLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998

TENTANG

PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER, CRUEL, INHUMAN
OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG
PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM,
TIDAK MANUSIA WI, ATAU MERENDAHKAN MARTABA T MANUSIA)

DECLARATION TO ARTICLE 20 AND RESERVATION TO ARTICLE 30 PARAGRAPH I
CONVENTION AGAINTST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR
DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT

Declaration:
The Government of the republic of Indonesia declares that the provisions of paragraphs 1,
2 and 3 of Article 20 of the Convention will have to be implemented strict compliance with
the principles of the sovereignty and territorial integrity of States.

Reservation:
The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the
provision of Article 30, paragraph 1, and takes the position that relating to the
interpretation and application of the Convention which cannot besettled through the
channel provided for in paragraph I of the said article, may be referred to the International
Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE.

Sumber : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Follow By Email

Ikutin Kami

0 komentar:

Post a Comment

Seluruh gambar, artikel ataupun video yang ada di blog ini terkadang berasal dari berbagai sumber.
Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut.
Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami.